Kisah Si Pitung, Legenda Santri Mujahidin Asal Betawi
Siapa yang tak kenal Si Pitung yang mempunyai teman bernama Dji-ih? Dia adalah seorang tokoh pahlawan lokal asli dan sudah melegenda di benak rakyat Betawi. Nama besarnya sudah sangat terkenal di zamannya dan sangat ditakuti lawan dan disegani kawan. Dia semacam “Robin-hood” asli Indonesia. Si Pitung selalu membela rakyat kecil dari penindasan dan penjajahan kompeni. Bagi VOC , Pitung merupakan TERORIS dan berpotensi menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan usaha mereka di Batavia saat itu.
Berikut kilasan sejarah Si Pitung yang melegenda tersebut :
Si Pitung lahir di daerah Pengumben, di
sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi
Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya
bernama Mpok Pinah. Si Pitung menerima pendidikan di pesantren yang
dipimpin oleh Haji Naipin, seorang pedagang kambing.
Pitung merupakan anak bungsu dari tiga
bersaudara, pasangan suami-istri Piun dan Pinah. Berdasarkan cerita
rakyat (folklore) yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil
belajar mengaji di langgar (mushala) di kampung Rawa Belong. Dia,
menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’. Dia juga ‘terang
hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai
mampu membaca (tilawat) Alquran. Selain belajar agama, dengan H Naipin,
Pitung –seperti warga Betawi lainnya–, juga belajar ilmu silat. H
Naipin, juga guru tarekat dan ahli maen pukulan. Masa mudanya,
dihabiskan dengan mempelajari ilmu silat dengan pengawasan gurunya di
Rawabelong selama mempelajari silat.
Kehebatan gerak silat Pitung diuji
ketika usai menjual kambing di Tanah Abang. Uang hasil penjualan dicopet
segerombolan pemuda. Terjadilah perkelahian dengan kawanan pencopet.
Dalam beberapa jurus, seluruh copet kampung itu terkapar ditanah.
Melihat kehebatan korbannya, kawanan pencopet itu malah meminta agar
Pitung menjadi pemimpin mereka.
Menjadi pemimpin pencopet, Pitung mulai
beraksi. Namun kali ini korbannya bukan warga biasa karena ia pernah
berjanji untuk membela warga yang lemah. Selama belajar silat itu,
Pitung merasakan kehidupan orang Betawi dan Belanda (Eropa) sangat
kontras. Dibalik penjajah yang disebut tuan besar, termasuk tuan-tuan
tanah yang hidup mewah, Pitung melihat penderitaan rakyat kecil di
sekitarnya.
Kondisi inilah yang membuat ia suka
melakukan perampokan terhadap orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah, yang
membelenggu petani dengan berbagai blasting (pajak). Hasil rampokannya
itu dibagi-bagikan kepada masyarakat miskin.
Menurut Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):
Pitung memang perampok. Mungkin saja
Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang,
Pitung itu pengacau, teroris dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang
jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut
kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya
tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan
cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada
mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan
Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di
sana.’
Pitung yang menjadi karakter sebagai
Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996).
Karmani menulis novel Si Pitung. Dalam novel ini, dikisahkan bahwa Si
Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali, ‘Pitung sebagai
tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi
hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita.
Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang
tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi
hukuman yang setimpal’ (Rahmat Ali 1993:7).
Beragam pro dan kontra menyelubungi di
balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya tokoh Si Pitung
adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh “Orang Betawi”
terhadap penguasa pada saat itu, yaitu Belanda. Apakah hal ini benar
atau tidak, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke
generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari
belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung di atas
bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat
itu.
Pada tahun 1892, Pitung dan kawanannya
ditangkap oleh polisi sesudah Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50
ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) memberi nasihatuntuk menangkap Si
Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian, pada musim semi
1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius
dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan
oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil. Karena kejadian
tersebut, Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih.
Akhirnya seorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah belincong (sejenis
linggis pencungkil) kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk
membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3;
Lokomotief 25-4 1893:2). Akibatnya, Si Pitung lepas lagi.
Berdasarkan rumor, Pitung pernah
menampakkan diri kepada seorang wanita di sebuah perahu dengan nama
Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda,
12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Karena
sulitnya menemukan dan menangkap si Pitung, harga untuk penangkapan
Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda pada
saat itu ingin menembak mati Pitung di tempat, tetapi sebagian pejabat
mengatakan, jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat
patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk
menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.
Sebagai tindakan balas dendam, Pitung
melakukan pencurian dengan kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata
api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang
bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga mencuri dari
wanita pribumi, Mie, termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver
dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C, seorang
pedagang wanita di Kali Besar yang menyatakan bahwa Pitung mencuri
sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahunya (Hindia Olanda
22-11-1892:2).
Dji-ih ditangkap kembali di kampung
halamannya ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke
kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke
rumah orang tua yang dikenal. Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan)
melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap
Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk
melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda
19-8-1893:2). Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini
kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa
Dji-ih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan
Dji-ih kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh
dari Batavia beberapa minggu kemudian.
“’Itoe djoeragan koetika ketemoe Si
Pitoeng betoelan di tempat sepi troes, Si djoeragan menjikip pada Si
Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari
pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat
djoega.’ (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)
Beberapa bulan kemudian, di bulan
Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung
terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester
Cornelis. Kemudian dalam perjalanannya Hinne diberi laporan bahwa Pitung
telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda
18-10-1893). Kemudian, Hinne menembaknya dalan penyergapan itu. Pitung
ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak
kedua kalinya, tetapi meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan
membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya, hari Senin,
jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore.
Setelah Hinne menangkap Pitung, setahun
kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang
untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah
kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar
“Pitung-Pitung” yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena
ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah
Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.
Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung
dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen tersebut di atas.
Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2), sebelum ditangkap Pitung dalam
keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari
Sabtu. Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung
hilang akibat jimat-nya diambil orang (Versi Film Si Pitung Banteng
Betawi), tetapi yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung
dapat di-”lemahkan” jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hidia
Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong
rambutnya.
Rumah Si Pitung yang terletak di
Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, diperkirakan dibangun pada abad ke
19. Si Pitung sendiri lahir di Rawa Belong, Jakarta Barat. Karena
keberaniannya melawan penjajahan Belanda membuat nama si Pitung menjadi
buah bibir masyarakat masa itu hingga kini.
Dimanakah makam Si Pitung sekarang? Sesepuh Rawabelong, Nur Ali Akbar (65) saat ditemui merdeka di rumahnya, Jalan Yahya, RT 2, RW, 7, Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu (8/9).
Lebih lanjut, meski tidak ada bukti
otentik, semisal batu nisan yang memberikan informasi tentang siapa yang
dimakamkan, pria yang juga ahli beladiri Betawi, Cingkrik ini yakin
jika yang dikebumikan itu adalah si Pitung, Robin Hood Betawi.
“Dari cerita bapaknya kakek pak haji nih, di makam itu, Pitung dimakamkan.”
Meski tidak mengetahui tanggal dan tahun
kapan pastinya Pitung meninggal dunia, Haji Nunung membantah jika
Pitung memiliki ilmu Rawa Rontek, seperti yang selama ini beredar.
Karena menurutnya ilmu Rawa Rontek adalah ajaran agama Hindu.
Melihat kondisi makam yang mengenaskan.
Dari pantauan merdeka.com, seperti kondisi makam yang dijelaskan di
atas, peristirahatan Pitung itu juga tidak memiliki pengurus makam.
Bahkan untuk membersihkan daun-daun bambu yang berguguran, terkadang
petugas Telkom berinisiatif sendiri untuk membersihkannya.
Untuk itu, Haji Nunung berharap kepada Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta khususnya, pemerintah kota Jakarta Barat untuk memberikan
perhatian terhadap makam Pitung. Perhatian yang diharapkannya,
pemerintah mau mendirikan semacam monumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar